Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia |
Lembaga Penyiaran Publik Radio
Republik Indonesia (LPP RRI) memenuhi janjinya pada 2010 dapat memulai siaran
radio dari wilayah perbatasan Republik Indonesia-Timor Leste ketika tanggal 16
September 2010, saat Parni Hadi selaku Direktur Utama (Dirut)-nya meresmikan
operasional Stasiun LPP RRI Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Parni Hadi saat itu didampingi
Komandan Resor Militer (Danrem) 461/Wirasakti, Kolonel Inf. I Dewa Ketut
Siangan, Bupati Belu, Drs. Joachim Lopez, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Belu, Simon Guido Sera, yang meletakkan batu pertama gedung
studio produksi dan sekaligus meresmikan operasional LPP RRI di Kecamatan
Atambua, Kabupaten Belu, NTT.
Hal tersebut menandai peran terdepan
siaran RRI di wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga Timor Leste. Saat
ini LPP RRI memiliki 14 studio produksi di kawasan perbatasan negara tetangga,
yaitu di Skow, Oksibil, Boven Digul, Kaimana, Entikong, Malinau, Nunukan,
Longbagan, Putusibau, Batam, Sabang, Sampang, Takengon dan Atambua. Bahkan
Studio Produksi LPP RRI di Tahuna, Sangir Talaud, statusnya telah naik status
menjadi stasiun/studio penyiaran.
Pada pengoperasian Studio Produksi
LPP RRI Atambua itu ditandai dengan siaran khusus dan dialog dalam program
“Indonesia Menyapa dari Atambua”, dan Joachim Lopez bicara soal isolasi
informasi di daerahnya. Adapun Kolonel I Ketut Dewa Siangan mengemukakan
manfaat siaran radio bagi pasukan yang bertugas di perbatasan sepanjang 268
kilometer dari sektor barat ke timur. Sedangkan, Parni Hadi menegaskan tentang
“Sabuk Pengaman Informasi”, dan peran LPP RRI di daerah perbatasan NTT dengan
Timor Leste.
Konsep dan Program “Sabuk Pengaman
Informasi” awalnya diluncurkan Parni Hadi pada peringatan Hari Radio 2006 dalam
bingkai tema “Menjaga Integritas Bangsa”. Ini merupakan suatu konsep dan
program yang makin tinggi relevansinya dan terus bergulir maju, khususnya saat
ini dengan telah dimilikinya 14 studio produksi plus sebuah stasiun penyiaran
di kawasan perbatasan.
Seorang Parni Hadi dapat dikatakan
sebagai komunikator ulung sejalan dengan karir jurnalistiknya dari Kantor
Berita ANTARA pada 1973, dan pernah membidani harian umum Republika. Ia bisa
jadi tidak sempat berkomunikasi dengan Benjamin Palmer, yang pada awal tahun
1900-an dicatat oleh Joseph R. Dominick (pada 1999) mendirikan Palmer College
of Chiropractic di Davenport, Iowa, Amerika Serikat (AS), yang kemudian
mendirikan perusahaan siaran radio WHO dalam wadah perusahaan milik keluarga
dengan bendera Palmer Communication pada 1930-an.
Konsep dan program siaran “Sabuk
Pengaman Informasi” RRI yang digagas Parni Hadi mirip dengan program siaran
“The Corn Belt Hour” (Jam Siaran Sabuk Belulang) radio WHO yang memperoleh
penghargaan nasional AS pada 1939.
Dengan konsep dan program siaran
“Sabuk Pengaman Informasi” ini RRI telah menempatkan di barisan terdepan
(forefront) dalam memberikan pelayanan siaran dan informasi di daerah
perbatasan dan daerah-daerah terpencil yang tidak tersentuh oleh terpaan media
massa lainnya.
Program siaran “Sabuk Pengaman
Informasi” didesain untuk siaran radio di kawasan perbatasan, sehingga sangat
relevan dengan fenomena “Perang Informasi”. Oleh karena program siaran ini
bertujuan sebagai pelayanan siaran dan informasi di daerah-daerah terpencil,
maka konsep dan programnya sangat signifikan bagi program perang melawan
pemiskinan-kemiskinan informasi dan isolasi informasi.
“Sabuk Pengaman Informasi” adalah
siaran khusus RRI yang berada di daerah perbatasan. Siarannya dibuat dengan
muatan dan misi khusus, antara lain dipancarkan dari Batam yang berbatasan
dengan Singapura, dan dari perbatasan Entikong di Kalimantan Barat (Kalbar)
yang berbatasan dengan wilayah Malaysia.
Perang informasi pada lingkup TNI
pertama kali diungkap oleh Jenderal TNI R. Hartono semasa ia menjadi Kepala
Staf Tentara Nasional Angkatan Darat (Kasad) era Orde Baru. Kemudian Jenderal
TNI Tyasno Sudarto semasa menjadi Kasad memulai rencana sosialisasi, pentahapan
dan program perang informasi secara lebih rinci, tapi terbatas. Kemudian,
Brigjen TNI Hotma Panjaitan semasa menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI
AD juga menyiapkan kerangka program awal rintisan perang informasi.
Jika dirunut ke belakang lagi,
periode 1980 – 1990-an TNI telah mengidentifikasi dan menaruh perhatian besar
terhadap perang informasi. Itu semasa Jenderal TNI Try Sutrisno menjabat
sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang kemudian
kembali alih nama TNI. Ia kala itu menugasi beberapa perwira dan tenaga ahli
sipil untuk mengkhususkan perhatian pada hal-hal yang menyangkut perang masa
depan, termasuk perang informasi dan anti-terorisme.
Dalam program pendidikan regional
dan sekolah staf fungsional (Dikreg/Sesfung) TNI Angkatan Laut (AL) pada 2001,
dan kursus kepala penerangan di sekolah staf komando TNI AD (Suskapen-Seskoad)
2005, serta kursus atase pertahanan Badan Intelijen Strategis (Sus Athan Bais)
TNI 2006 ada beberapa hal yang menyangkut perang iInformasi juga dibahas.
Perang informasi yang dikembangkan,
antara lain konsep, program dan kasus-kasus mendasar dan pembahasan di lembaga
pendidikan tersebut. Hanya saja, sayangnya, program tersebut tidak ditingkatkan
dan berlanjut. Selain itu pergantian pucuk pimpinan TNI yang berlangsung secara
periodik menyebabkan beberapa masalah tertentu, termasuk perang informasi,
belum sempat tertangani secara konsisten dan tuntas, serta cenderung
terabaikan.
Bagaimana pun masyarakat umum sempat
tercengang ketika seorang Menteri Penerangan (Menpen) yang mantan Kasad ABRI,
Jenderal TNI R. Hartono, tiba-tiba menyebut istilah perang informasi hanya
beberapa hari setelah dilantik dalam posisinya itu. Fenomena ini membuktikan
bahwa sebenarnya para petinggi atau fungsionaris TNI memahami benar arti
informasi dan komunikasi secara luas berikut penerapannya dalam konteks
militer. Mengapa seorang Hartono mengatakan hal itu tidak pada saat dirinya
menjabat Kasad ABRI?
Mengapa pula kini justru LPP RRI
yang berada di garis terdepan dalam soal perang informasi? Mengapa bukan TNI?
Mengapa juga bukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemeninfo)? Apakah
perang informasi merupakan domain TNI atau kewenangan dan tanggungjawab
Kementerian Kominfo? Apa pun jawabannya, LPP RRI telah memiliki siaran yang
telah mengudara di kawasan perbatasan dan daerah terpencil serta terluar Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ambil contoh, siaran LPP RRI di
Batam sudah di arah dan dapat didengar oleh Tenaga Kerja Indonesia (TKI),
termasuk Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang berada di Singapura hingga Johor Baru.
Siaran RRI Batam yang mengudara menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin,
ternyata mampu menjangkau selera pendengar radio di Singapura dan Johor Baru.
Bahkan, pemerintah negeri seberang
di mana siaran LPP RRI bisa ditangkap kini mulai “terusik” manakala RRI, yang “Sekali
di Udara, Tetap di Udara”, secara berkesinambungan berbahasa Melayu, Inggris
dan Mandarin. Begitu juga dengan siaran perbatasan RRI dalam bahasa Inggris di
Papua dan Tahuna, Sulawesi Utara (Sulut), telah mampu menjangkau pendengarnya
di seberang hingga Fipilina Selatan dan Papua.
Untuk siaran di perbatasan Skow dan
Oksibil, Papua, RRI bekerjasama dengan anggota TNI AD yang dilatih untuk
menjadi penyiar. Upaya RRI menggandeng TNI AD merupakan upaya yang tepat dan
signifikan.
Mengapa seakan Parni Hadi ingin
mengingatkan bahwa ada masalah mendasar dan fenomena yang belum
tertangani/ditangani oleh TNI AD perlu mulai diprogram bersama, yaitu siaran di
kawasan perbatasan dan lebih lagi siaran khusus bagi daerah terpencil dan
daerah terluar yang belum terjangkau pelayanan media massa nasional lainnya.
Dirut LPP RRI bahkan mengundang
Kasad untuk menghadiri peresmian operasional studio produksi RRI di Atambua,
Kabupaten Belu NTT, yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, negeri muda
yang pernah berintegrasi dengan NKRI pada 1976 hingga memutuskan berpisah pada
1999. Namun, Kasad mendadak ada penugasan lain, sehingga menugasi meminta
Danrem Wirasakti di Kupang untuk menghadiri.
Keterlibatan TNI AD dalam siaran
studio produksi LPP RRI Atambua di kawasan perbatasan NTT dengan Timor Leste
juga mengekspresikan sampai sejauh mana pimpinan TNI AD mengapresiasi dan
memiliki persepsi terhadap siaran RRI di kawasan itu, termasuk perang
informasi.
Oleh karena itu, seorang Parni Hadi
tidak mengherankan dalam siaran khusus Indonesia “Menyapa dari Atambua” pada 16
September 2010 mengatakan: “Siaran RRI di kawasan perbatasan, seperti NTT
dengan Timor Leste ini penting dan amat strategis, serta vital apakah dalam
konteks menghapuskan kemiskinan dan isolasi informasi, tetapi juga ditujukan
kepada penduduk negeri tetangga Timor Leste yang hampir 100 persen berbahasa
Indonesia. Dalam program siaran khusus kawasan perbatasan RRI-lah yang menjadi
panglima perang informasi.”
Siaran khusus RRI di kawasan
perbatasan Atambua tersebut bagi para angkasawan dan angkasawati LPP RRI
merupakan satu bukti pengabdian dan kontribusinya dalam konteks perang
informasi, yang mestinya juga direspon secara proporsional oleh pimpinan TNI,
khususnya TNI AD sebagai program yang perlu ditata, direncanakan, secara
sistematis, terpadu, komprehensif dan terukur.
Apa yang diungkap Parni Hadi
semestinya memacu pimpinan TNI untuk bersama-sama jajaran RRI membuat program
siaran khusus di kawasan perbatasan, daerah terpencil dan terluar dalam bingkai
perang informasi untuk membela dan mempertahankan semua jengkal kedaulatan
wilayah NKRI.
Vincent Mosco pada 1993 mencatat
Perang Teluk Persia bagaimana pun menunjukkan kepada dunia bahwa selain
penguasaan tehnologi militer dan intelijen, maka mau tidak mau mereka yang
terlibat dalam perang, khususnya perang Informasi, harus memiliki atau
menguasai teknologi komunikasi sekaligus harus mampu menguasai, mengendalikan
dan mengatur arus pemberitaan internasional.
Sementara itu, James Adams, Chief
Executive Officer (CEO)-nya kantor berita United Press International (UPI) pada
1998 menulis bahwa salah satu bentuk Perang Dunia yang berikut (The Next World
War) adalah perang informasi, perang terhadap kejahatan tergorganisir, perang
terhadap terorisme dan konflik antar-etnis.
Bukan berlebihan kalau dikatakan RRI
menjadi Panglima Perang Informasi, karena lembaga itu bukan hanya berdiri di
garis terdepan, tetapi telah terbukti terlibat dalam propaganda dan perang
urat-syaraf mulai dari siaran menggelorakan Arek-arek Surabaya ketika Inggris
mendompleng Belanda masuk Indonesia.
RRI pula yang menggemakan pekik
kemerdekaan dalam peristiwa “Bandung Lautan Api”, melakukan siaran media radio
bawah tanah (clandestine radio) di bumi Irian semasa Pepera, termasuk juga
operasi siaran propaganda anti-komunis pasca-Gerakan 30 September/Partai
Komunis Indonesia (G30S/PKI) pada 1965.
Sumber: PanglimaPerang Itu Bernama RRI
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO
0 komentar:
Posting Komentar